Pria aneh dengan sekotak cinta - Perfect life is not perfect (N)

"Hhhhhh." Entah sudah berapa kali aku menghela nafas. Bosan dengan rutinitas yang padat. Bosan melihat raut wajah yang selalu dihiasi make-up dan senyum palsu mereka. Bosan melihat laki-laki yang bergonta-ganti pacarnya dengan memamerkan kekayaan orangtuanya. Dan juga, bosan mendengar puji-pujian dari mereka yang entah sudah berapa kali diulang-ulang.

"Oh tidak Nela hunnybunny! You are so stunning with that dress! Oh my!" - Perempuan ke-1 sampai ke-30.

"Kamu memliki gadget terkini! Cool! Pinjam dong, sayang!!" - Perempuan ke-31 sampai ke-49.

"Kamu dapat nilai sempurna lagi! Besok-besok kalau ulangan, jangan lupa kasih seluruh jawaban kamu ke aku ya, beb!" - Perempuan ke-50 sampai ke-68 dan pria ke-1 sampai ke-36.

"Bagaimana kalau hari ini kamu yang traktir kami, Nel? Oke? Yey!" - Perempuan ke-69 sampai ke-89 dan pria ke-37 sampai ke-70.

Itu kalimat yang kerap aku dengar sehingga aku mengingatnya, kalimat yang tidak aku ingat lebih banyak dari ini. Aku sama sekali tidak peduli dengan pujian itu. Pujian dari mereka yang hanya berarti di depan tapi di belakang pujian itu berganti menjadi cacian. Bukan hanya sekedar cacian, tapi cacian yang tidak akan bisa dibayangkan tingkat kekejamannya.

Aku terkenal-hmm menurut sebagian besar mereka, ya walaupun aku tidak menganggap seperti itu, oke intinya aku cukup dikenal-tapi aku tidak bahagia . Walaupun terkadang hal itu membawa keuntungan yang banyak. Tapi tetap saja, menjadi terkenal itu tidak begitu enak. Kalian mungkin akan menyebutku tidak bersyukur tapi percayalah bahwa perkataanku itu benar.

Menurut mereka hidupku sempurna. Jika makna hidup sempurna bagi mereka adalah lingkaran yang dipenuhi oleh kepalsuan, maka hidupku memang sempura. Aku tahu, aku tahu siapa saja yang memakai topeng di depanku. Bahkan, aku tahu berapa banyak topeng yang mereka miliki, karena aku terlahir dari tumpukan topeng. Lebih tepatnya, tumpukan orang yang memakai topeng. Daddyku selalu romantis kepada mommyku, padahal di belakang ia bermain api. Mommyku selalu baik kepada daddyku, padahal ia hanya menginginkan hartanya. Sehingga aku tahu persis bagaimana cara membedakan yang asli dan palsu.

Bagiku, manusia yang disekitarku sama. Tidak ada yang berbeda sedikitpun. Mereka hanya ingin menjalin sebuah hubungan yang mutualisme. Hahahaha maksudku bukan mutualisme tapi parasitisme. Seperti ketika mereka merasa senang dan sedih, aku akan sebisa mungkin ada. Tapi ketika aku merasa sedih? Bahkan dunia pun seakan  menjauhiku. 

Sedih memang, mempunyai banyak teman tetapi tidak satupun di antara mereka yang benar-benar menjadi temanku. Karena tidak ada satupun di antara mereka yang benar-benar mengerti bagaimana diriku seutuhnya. Saat ini pun bagiku tidak terlalu penting bagaimana rasanya dicintai, tapi aku ingin dimengerti. Aku yakin, dimengerti berarti juga dicintai.
------
"Nela, ayo nyanyikan lagu mars sekolah kita di depan junior kita ini..." Kak Dirga ketua eskul Paduan suara menepuk bahuku. Aku pun mengangguk dan segera menyanyikan lagu mars sekolahku. Setelah selesai bernyanyi tepuk tangan pun diberikan kepadaku. Suaraku memang tergolong bagus dan aku bangga akan hal itu. Karena aku menyukai saat kelebihanku diakui oleh semua orang.

Bagiku apa yang aku lakukan sekarang haruslah benar-benar bagus dan sempurna. Karena aku harus menjadi 'seseorang' kelak. Aku tidak mau menjadi seseorang yang tidak memiliki teman sekaligus yang sengsara hidupnya. Aku harus bahagia dari luar.

Sebab  itu aku menaruh taraf pada hidupku. Seperti siapa yang akan menjadi temanku, pacarku atau apapun. Nilai akademik dan kegiatan lainnya harus bagus. Aku ingin  menjadi yang teratas dan aku tidak mau menjadi yang terendah.

Aku melihat ke seberang ke arah Eskul Jurnal berada, sekilas aku melihat gerakan cepat kepala seseorang yang menjauhi tatapan mataku. "Apakah itu si aneh? Hmm tapi tidak mungkin, apa dia tertarik kepadaku? Atau aku salah lihat?" mataku tetap melihat ke arah si aneh tapi ia tidak melihatku juga, segera aku kembali melihat ke kak Dirga yang menjelaskan beberapa peraturan di eskul kami.

Aku teringat kejadian tadi siang di kantin, ketika Robi  membully dirinya lagi. Aku kasihan melihatnya, ia tidak memilik teman, yang aku tahu dia selalu larut di dalam buku-buku tebal. Tapi aku iri kepadanya, ketika ia tenggalam di dalam buku-buku tebal itu, aku seakan melihat dia dan dunianya sendiri. Buku itu seakan membuat dirinya utuh, buku itu menyedot jiwanya, buku itu seperti membuatnya nyaman. Padahal ia selalu dibully dan tidak ada teman yang mau bersama dengannya, tapi dia terlihat begitu sempurna dengan buku itu. Seperti semua hinaan yang dilemparkannya tidak berarti apa-apa, ia hanya peduli pada bukunya.

Tapi tentu saja aku tidak tertarik dengannya. Aku lebih memilih mempunyai teman palsu seperti sekarang daripada dipermalukan setiap hari. Karena bagi perempuan yang sepertiku, harga diri di atas segalanya, bahkan hatiku sendiri.
------
    

Komentar