Yang kukira
hamparan bunga itu ternyata hamparan kawat berduri.
Yang kukira
hamparan bunga itu ternyata dipenuhi pasir penghisap.
Yang kukira
hamparan bunga itu ternyata mampu membuat lebam sebagianku.
Indahnya, lebam itu adalah hadiah terbaik.
Sebab warna lebam ini hanya biru.
Bukan ungu.
Aku tersenyum sembari mengusap lebam di diriku.
Tidak ada rasa marah ataupun sedih.
Melainkan bahagia yang kupeluk.
Kenapa?
Sebab lebam ini bukti bahwa aku telah dijauhkan dari hal-hal yang akan membuatku semakin menyedikan.
Dan lebam ini telah membuatku sadar, bahwa bahagiaku tidak akan lagi tergantung kepada siapapun.
Kini, bahagiaku adalah bahagiaku.
Sepenuhnya di tanganku.
-----
Seseorang pernah
berkata bahwa hal yang kamu anggap baik belum tentulah baik untuk dirimu.
Terkadang manusia hanya ingin melihat apa yang ia ingin saja. Terlalu memuja
hingga pada akhirnya dijatuhkan. Tanpa itu kita tidak tahu apa yang benar-benar
baik dan apa yang tidak.
Jangan terlalu mengutuk
rasa sakit itu. Pada akhirnya dialah penyelamatmu. Mungkin, tanpa rasa sakit
itu kamu akan tertawa bahagia untuk hari ini. Tetapi, besoknya kamu akan mati.
Jiwamu mati.
Sakit yang kamu
rasakan saat ini bisa jadi penyelamatmu dari rasa sakit yang lebih besar. Ironi
memang. Namun, bersyukurlah karena kamu tidak mati. Bersyukurlah karena kamu
masih bisa menjadi sembuh.
Selalu ada ruang untuk merasakan sakit. Itu kalimat yang selalu aku peluk setiap saat. Tanpa rasa sakit aku tidak tahu apa dan bagaimana rasanya menjadi perempuan yang sedang berbahagia. Pun sebaliknya.
Merasakan sakit
bukan berarti kamu sedang tidak beruntung. Ada kalanya merasakan sakit adalah
keberuntungan kamu yang paling besar. Bisa pula merupakan hadiah yang termasuk
kedalam “Lima hal yang membuatmu tetap hidup”.
Jadi untuk apa
mengutuk rasa sakit yang datang?
Dahulu, aku
mengutuknya teramat parah. Cacian dan makian terkasarpun tidak cukup bagiku.
Dahulu aku menangisinya mengapa dia datang terlalu cepat. Terlalu cepat membuat
warna-warni pelangiku menjadi awan hitam pekat. Tak luput aku mengutukinya
karena terlalu nyaman berada di diriku.
Jadi untuk apa
mengutuk rasa sakit yang datang?
Seribu satu
pikiran mulai menerjangku. Menebalkan huruf demi huruf yang mulai jelas di otakku
“Bagaimana jika….. ; Coba saja kalau…. ; Seandainya aku….”. Terlalu banyak
kemungkinan yang ingin aku ulang kembali. Terlalu banyak.
Jadi untuk apa
mengutuk rasa sakit yang datang?
Untungnya aku
masih menjadi manusia yang mempunyai akal pikiran yang jernih. Kesadaranku
mulai pulih, kutukan yang aku keluarkan berubah menjadi rasa syukur yang tiada
ada batasnya. Sebaliknya, aku memuja rasa sakit itu. Dia datang dengan bentuk
terkejamnya demi membebaskanku dari hamparan kawat berduri.
Jadi untuk apa mengutuk
rasa sakit yang datang?
Kini aku memeluk
diriku. Mensyukuri fakta bahwa aku tidak akan menjadi ungu. Mensyukuri fakta
bahwa aku tidak mengutuknya untuk waktu yang lebih lama. Kini aku
berterimakasih kepada rasa sakit itu. Sebab dia telah menjauhkanku dari
hamparan kawat berduri.
Jadi untuk apa
mengutuk rasa sakit yang datang?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus