Ada kalanya aku hanya ingin mempunyai satu orang yang selalu ada untukku.
Yang bisa jadi senderan dalam situasi apapun. Yang bisa aku hubungi kapan pun
tanpa ada rasa 'tidak enak'. Dan tempat berbagi keluh kesahku dari kulit hingga
ke dalam. Tanpa adanya bagian tubuhku yang hancur berantakan dibuatnya. Apa kamu juga pernah menginginkan hal itu? Kalau pernah berarti kita
sama. Sini, aku kasih peluk kalo gitu.
Tapi siapa manusia yang bisa sepenuhnya menjadi seperti itu? Manusia itu
sendiri memiliki masalahnya masing-masing. Kenapa Ia harus selalu repot
mengurusi urusan orang lain? Sedangkan masalahnya saja mungkin masih
terbengkalai di belakang sana.
Tapi bukankah manusia diciptakan juga sebagai tempat berbagi keluh kesah
selain sama Tuhan? Lantas jika itu benar, kenapa menemukannya begitu sulit?
Kenapa begitu banyak tahap-tahap untuk menjadikan seseorang di posisi ini? Atau
hanya aku saja yang memperpanjang tahapnya?
Mungkin memang aku yang memperpanjangnya. Karena sekarang banyak manusia yang menyia-nyiakan kedudukannya. Setidaknya
itu menurutku. Banyak diantara mereka yang menjatuhkan kepercayaan segelintir
orang. Dan alhasil mereka tersebut harus lengser dari kedudukannya semula.
Ironi memang. Mereka yang mendapatkan kedudukan penting di seseorang dengan
mudah menjatuhkan kedudukan tersebut. Sedang mereka yang lain bersusah payah
untuk mendapatkan kedudukan seperti itu. Terlebih terhadap seseorang tersebut.
Karena tidak mudah mencari yang pas bagi kedudukan didirinya dan setelah Ia
mendapatkannya, kedudukan tersebut malah diluluh lantakkan.
Beberapa dari kita pernah merasakan itu bahkan sering merasakan itu. Mungkin ekspresi yang pertama terlihat adalah tersenyum kecut. "Bagaimana mungkin dia yang dipercaya semudah itu membobolkan kepercayaanku". Lalu bibir pun dipaksa untuk merekah di masing-masing sisi. Sedangkan hati dipaksa untuk mengunci dirinya
Ironi (lagi) memang. Ketika suatu hubungan baik apapun itu yang awalnya didasari kepercayaan dan keterbukaan ditutup dengan kepercayaan yang pecah dan hati yang dipaksa diam dan mengunci. Kemudian 'kepercayaan dan keterbukaan' tadi menguap panas ke udara dan hilang di bawa angin sang musafir.
Lagi-lagi yang tersisa hanyalah dia sang peruntuh yang memang tidak menyadari reruntuhan ini atau memang dia pura-pura tidak menyadarinya. Serta seseorang yang bangunannya diruntuhkan sedang berusaha untuk mendirikan bangunannya sendiri dan berpura-pura keadannya dengan sang peruntuh baik-baik saja. Ironi (lagi dan lagi) memang.
Dan ketika hati mengunci dirinya Ia menemukan sosok yang membuatnya mampu membuka kunci itu sedikit demi sedikit. Hati mulai bergerak, mengambil kunci yang tergantung di sudut ruangan, berjalan perlahan menuju pintu dan memutar kunci tersebut bersama dengan dukungan sosok tersebut. Dan HOLA hati menemukan sosok baru yang bisa menggantikan kedudukan yang rapuh!
Tapi memang hidup itu pusatnya lingkaran setan. Hati bisa saja kembali mengunci dirinya sendiri akan sebab yang sama. Kedudukannya kembali diluluh lantakkan. Namun bisa juga dia semakin kuat karena sosok tersebut tepat. Tapi menurutku dia tinggal menunggu waktu untuk kembali hancur. Akan ada saatnya sosok itu menghancurkan kedudukan tersebut.
"Karena tak ada manusia yang tidak menciptakan kekecewaan." - Green.
Dan seseorang tersebut kembali mengunci hatinya. Tentu saja dia dihadapkan kepada dua pilihan. Yang pertama dia pura-pura baik-baik saja terhadap sosok tersebut. Dan yang kedua dia mengeluarkan semuanya kepada sosok tersebut.
Tinggal menunggu apa reaksi sosok peruntuh tersebut. Menyadari dan memperbaiki ketika hati dia dipaksa mengunci. Memperbaiki ketika hati meminta pertanggung jawaban. Atau pergi meninggalkan hati tersebut walaupun sudah diminta pertanggung jawaban.
Jadi apakah keinginanku semula merupakan sesuatu yang tak mungkin?
Komentar
Posting Komentar