Kiya mengusap pelan permukaan
kasar bangku kayu yang didudukinya. Menyentuh pelan kenangan akan masa lalu
yang kian menyergapnya. Kedua belah bibirnya terangkat sedikit. Tak mampu
berjanji akan jadi senyuman tulus ataupun keterpaksaan.
Kembali diremasnya secarik
kertas yang berada digenggamannya. Tak urung dia pun meluruskan kembali kertas
tersebut. Kini dia dilanda dilema. Entah mau dibawa kemana kenangan ini.
Mengikutinya kah atau harus dilepaskan paksa darinya.
Kedua belah bibirnya kembali
terangkat sedikit. Dilebarkannya lipatan kertas yang telah remuk. Kenangan itu
kembali menyergapnya. Rasa itu pun kembali memeluk dirinya.
"Kalau aku disuruh milih sahabat sama pacar, aku lebih
milih sahabat". Tulisan di kertas itu kembali
menyelimuti perasaan dan memorinya. Benarkah itu? Atau hanya sekedar tulisan
tak bertanggung jawab.
¤
"Kamu kenapa Lia? Tidakkah kamu membenci keadaan
dimana kita saling berdiam diri seperti ini?" Pertanyaan pertama Kiya
setelah beberapa hari lamanya Lia membuat gencatan senjata.
"Diam kamu, Munafik! Jangan pura-pura tak tahu
apa kesalahanmu!"
"Lia apa yang salah dariku apa?"
"Kamu tahu aku suka sama lelaki itu, tetapi
kenapa kamu membiarkan dia mendekat padamu?"
Kiya terdiam. Ruang dihatinya yang semula penuh kabut
sekarang bertambahlah kabutnya.
Kiya tak mengerti. Akan dirinya, Lia maupun lelaki
itu. Yang dia tahu, dia merasa asing.
"Apa maksudmu, Lia? Aku tak pernah membiarkan dia
mendekat padaku."
Lia tersenyum. Bukan senyuman ketika Kiya berhasil
dikerjainnya. Namun senyuman kecut dan marah. Tangannya meremas bajunya di
masing-masing sisi.
"Kamu menyukainya juga kan? Lalu kenapa kamu
tidak berkata jujur padaku?! Kamu munafik!"
Tidak. Tidak. Kiya bukan munafik. Oh bagaimana Kiya
menjelaskan ini semua. Bagaimana?
"Dengarkan aku Lia. Aku bukan berbohong padamu. Tapi aku hanya--"
"Diam! Aku sudah bosan mendengar alasan palsu tak
bertanggung jawabmu! Kalau kamu tidak memberikan peluang padanya mungkin dia
selangkah maju denganku. Tapi kamu menghancurkannya. Kamu bukanlah sahabatku,
Kiya!"
"Lia, janganlah kamu berlari menjauh ketika
lubang ini kau tanamkan dihatiku. Lia kembali!!"
Namun sia-sia ucapan Kiya
seakan terbawa angin pergi menjauh.
¤
"Kamu tahu Lia. Ini bukan keinginanku
sepenuhnya. Bahkan aku pun tak sanggup menerima konsekuensi ini. Aku ingin kita
seperti dahulu.
Bukannya impian kita adalah menjadi
sahabat sampai kita memiliki anak nanti? Dan nanti masing-masing kita
mengisahkan kisah kita kepada anak kita?
Pernah kamu berucap bahwa kalimat ini
yang akan kamu ceritakan kepada anakmu, "Nak, dulu Ibu punya sahabat yang
dekat sekali. Namanya Kiya. Kami------"
Tapi masihkah kalimat itu terbayang
dibenakmu? Kenapa kita harus seperti ini karena lelaki yang datang jauh setelah
kita menjadi sahabat? Tidak bisakah kita melupakan lelaki ini dan merajut
kembali persahabatan kita?
Maafkan aku yang tak jujur padamu.
Memang aku menyukainya. Tapi tak pernah terbersit dibenakku untuk merebutnya
darimu. Tak pernah.
Aku bukannya munafik untuk tak bilang
mengenai perasaanku dan berkata yang lainnya. Hanya saja aku menolak ini.
Karena aku tak mau begini akhirnya. Tapi malah ini yang membuat kita pecah,
Lia.
Bukankah kamu pernah berkata bahwa
kamu lebih memilih persahabatan kita daripada hubungan berpacaran? Kenapa
sekarang kamu berbuat sebaliknya, Lia? Sebesar ini kah kesalahanku?
Kamu tahu kemarin lelaki itu
melamarku. Aku teringat padamu Lia. Aku tak mau kita menjadi musuh. Aku tak
mau. Dan demi persahabatan kita yang telah hancur, aku menolaknya.
Walaupun masih tersisa rasa untuknya
tapi aku tak memperdulikannya. Yang aku tahu aku akan memohon padamu. Maka Lia
aku mohon padamu, bantu aku merajut kembali persahabatan kita yang telah hancur
berantakan ini.
Disurat ini aku memohon padamu. Demi
persahabatan kita. Demi cita-cita kita dahulu. Bantulah aku mewujudkannya."
¤
Kiya menghapus bulir air yang
keluar dari mata hitamnya. Diremasnya kembali kertas yang telah menuju bentuk abstrak. Seperti ini kah kata-kata yang
tertulis dahulu ketika menjadi kenyataan? Yang dengan nyatanya surat itu tak
pernah terbalaskan.
Komentar
Posting Komentar