Kebahagiaan




"Kau percaya sama kebahagiaan, Rum?"

Rumi yang sedang mengelap piring basah langsung memalingkan wajah. Tersenyum sejenak. "Tentu aku percaya! Kebahagiaan itu ada, Mira"

"Tahu darimana kalau itu ada? Jangan bilang kau tahu dari tayangan di tv lagi!"

Rumi memutar bola matanya. Kembali ia mengelap piring basah yang dicuci oleh Mira.

"Adikku sayang, kenapa kau benci sekali sama tayangan di tv? Setidaknya itu membuat kita selangkah lebih maju di dunia gelap kita."

Mira tesenyum kecut. Segera diambilnya spons dan mencuci piring yang berada di tangannya.

"Ralat, beberapa tayangan di tv. Ntahlah, aku rasa semua palsu. Senyum perempuan di FTV ketika akhirnya ia berpelukan sama pangeran impiannya."

Rumi mengedipkan matanya sekali dan tertawa senang. "Kau iri yaaaa?"

Mira langsung menatap kesal Rumi. "Bukan itu Rum! Kau tahu, hidup lebih rumit daripada FTV. Tidak ada yang namanya pangeran suka sama pembantu."

Rumi tersenyum. "Iya Mir, hidup tidak semudah FTV. Tapi aku yakin kebahagiaan itu ada."

Mira mengelap peluh di dahinya dengan punggung tangannya. Ia mengambil piring terakhir dan mencucinya. "Darimana kau percaya kebahagiaan itu ada?"

Rumi mengelap tangannya. Dan duduk di kursi hijau di sebelah tempat cuci piring itu. "Darimana?" Ulangnya. "Aku juga tak tahu. Yang aku tahu, kebahagiaan itu ada. Sekalipun untuk kita, anak-anak yang hanya mencuci piring dari rumah makan ke rumah makan lain."

Mira menatap heran. "Kalau kau tak tahu, kenapa kau yakin?"

Rumi menggeleng. "Ntahlah, bukankah terkadang sebuah alasan yang pasti tidak diperlukan?"

"Kalau kebahagiaan itu ada, kenapa keadaan kita begini Rum? Disaat semua anak lain membuat orang tuanya menunggu ketika mereka pulang, kita malah menunggu dan mencari dimana orang tua kita."

Rumi membelai rambut Mira pelan. "Aku yakin Mir, kebahagiaan itu ada. Dia hanya lagi tersesat saja. Mungkin dia salah belok. Nanti setelah ia sadar pasti ia langsung berbelok ke arah sebaliknya dan menuju ke arah kita cepat."

"Begitukah? Aku kangen kebahagiaan, Rum. Nanti ketika dia mengetuk rumah kardus kita akan aku peluk erat-erat! Kalau perlu tak kulepaskan lagi!"

Rumi tersenyum kecut. "Sayangnya kebahagiaan itu hanya sementara, Mir. Tidak ada yang kekal."

Mira mengerutkan dahinya. "Maksudnya, ia kembali pergi setelah beberapa saat meneduh di rumah kita?"

Kembali Rumi tersenyum kecut.

"Karena kebahagiaan itu bibit dari rasa kehilangan yang mendalam. Dan akar dari pedih yang tak terucap." - Green.  

Komentar