Tuan Matahari dan Nona Bulan


Matahari pagi menjalankan tugasnya seperti biasa. Pergi lewat timur dan pulang lewat barat. Berangkat pada saat pagi setelah Bulan pulang, dan pulang saat Bulan ingin berangkat. Tapi terkadang Matahari merasa harus cepat pergi, karena ia ingin bertemu Bulannya.
 -----
Bulan malam menjalankan tugasnya seperti biasa. Berangkat pada saat malam setelah Matahari pulang, dan pulang pada saat Matahari ingin berangkat. Tapi terkadang Bulan merasa harus terlambat pulang, karena ia ingin bertemu Mataharinya.
------
"Pagi, wahai nona Bulan. Kenapa kau tak pulang juga? Hari telah berganti, saatnya Matahari menggantikan posisimu." Pak Awan bertanya kepada Bulan. Ia merasa heran, ada yang aneh akhir-akhir ini kepada Bulan dan Matahari.

"Pagi, Pak Awan. Bulan tahu pak, tapi dimana Matahari sekarang? Kenapa dia belum muncul juga? Atau, dia kelelahan?! Tidak, tidak mungkin kan?" Bulan langsung cemas dengan opininya sendiri, digigitnya bibir bawahnya.

Pak Awan tersenyum, ia menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak, nona Bulan. Tadi ketika diperjalanan, bapak bertemu dia sedang lari tergopoh-gopoh, padahal hari belum pagi betul."

Bulan tersenyum, "Ah, senang mendengarnya pak Awan."

"Emmm maaf nona, apakah nona Bulan menyukai Matahari, emm maksud bapak menyayanginya?"

Bulan yang mendengar langsung tersipu malu. Pipinya makin memutih, sama dengan warna tubuhnya. "Apakah kelihatan sekali, Pak?"

Pak Awan tersenyum. "Iya nona. Kelihatan sekali. Tapi bukannya Matahari susah menjatuhkan hati ya?"

"Tak apa pak, Bulan akan usaha semaksimal mungkin. Karena Bulan menyayanginya pak."

Pak Awan mengangguk sebentar, "Tapi nona, mau sampai kapan begitu? Apakah tidak sayang kalau rasa sayang nona terbuang begitu saja?"

Bulan mengerjapkan matanya sebentar, ia berpikir sejenak. Tak pernah ada yang menanyakan hal ini kepadanya, "Kalaupun rasa ini tidak bersambut, Bulan tidak merasa sia-sia pak. Karena Bulan merasa nyaman ketika Matahari disamping Bulan pak. Waktu yang paling menyenangkan adalah saat kita menghabiskan dengan orang yang kita sayangi, bukan?"
-----
Matahari lari sekencang-kencangnya. Terkadang berhenti sebentar ketika ia merasa kelelahan.

"Wahai tuan Matahari, kenapa engkau terburu-buru? Bukannya ini belum masuk kau harus kerja?"  ibu Burung yang melihat Matahari yang terburu-buru langsung mendekatinya dan terbang disisi Matahari.

Tiba-tiba saja Matahari tersipu malu. "Ah tidak ibu Burung. Saya hanya inginn...." Matahari tiba-tiba terdiam. Matanya lurus ke depan. Kembali pipinya semakin memanas.

Ibu Burung yang kebingungan mengikuti arah mata Matahari, dia berpikir sebentar, tiba-tiba hawa semakin panas, dilihatnya Matahari. Ternyata pipi Matahari lagi bersemu merah dan mengakibatkan sinarnya makin terik.

"Maaf, tuan Matahari. Apakah engkau menyayangi neng Bulan?" Ibu Burung bertanya dengan hati-hati.

Matahari yang tersadar langsung tersipu malu kembali. "Ntahlah, ibu Burung. Saya sendiri tidak tahu. Tapi yang saya tahu, keberadaan dia bisa menjungkirbalikkan mood saya."

Ibu Burung merasa senang mendengar jawaban Matahari. Dikepak-kepakkan sayapnya. "Mulai kapan kalau saya boleh tahu, tuan?"

"Tak tahu, ibu Burung. Yang saya tahu, saya menyukai usahanya dan itu membuat saya juga berusaha untuk melakukan pertemuan singkat setiap hari, ya seperti hari ini. Dan yang saya tahu, waktu saya menjadi begitu berharga ketika saya menghabiskannya dengan Bulan."
-----
Matahari berjalan pelan dan penuh wibawa ke arah Bulan. Ia merasa kalau Bulan tak perlu tahu kalau hatinya serasa mau keluar dan jatuh ke tanah sekarang. Ia rasa Bulan tak perlu tahu, kalau rasa itu sudah mulai tumbuh sekarang.
-----
Bulan melihat Matahari berjalan ke arahnya. Ia langsung tersenyum senang. Tapi disana ia melihat, Matahari sepertinya biasa-biasa saja. Atau jangan-jangan Matahari tak ada perasaan padanya? Padahal ia justru lumayan terang-terangan menunjukkan rasa itu. Tapi ia tak mau menyerah.
------
"Haii, Matahari. Sudah siap mau bekerja? Hati-hati ya, jangan terlalu capek. Kalau lelah, biarkan Awan menutupimu sejenak." Bulan tersenyum penuh arti saat itu.

Matahari hanya tersenyum biasa. Ia rasa belum saatnya ia menunjukkan senyum penuh artinya. "Iya Bulan. Iya, terimakasih yaa."

Bulan merasa kecewa dengan jawaban Matahari, tapi Bulan tetap tersenyum.

"Yasudah, Bulan pulang duluannya. Dadah Matahari, besok ketemu lagi yaa..." Bulan melambaikan tangannya dan pergi menjauh.

Setelah Bulan menjauh dan tak terlihat lagi barulah matahari berteriak pelan. Ia merasa lebih hebat dari sebelumnya. Ntahlah, merasakan cinta kadang membuat kita merasa hebat tanpa alasan yang pasti.
------
Ibu Burung dan Pak Awan mencari dimana Matahari sekarang. Ternyata Matahari sedang berjalan pelan tapi sambil tersenyum.

Ibu burung menyentuh pundak Matahari, "Tuan Matahari, mau bekerja lagi?"

"Iya ibu, dan saya mau bertemu Bulan lagi. Senang sekali rasanya ibu..."

Ibu Burung berhenti sejenak, "Maaf sebelumnya tuan Matahari, tetapi ada sesuatu yang ingin kami sampaikan."

Matahari bingung, ada apa dengan ibu Burung dan pak Awan?

"Silahkan saja ibu, saya tak akan membakarmu." Matahari tertawa setelahnya.

Tapi ibu Burung tak tertawa, ia malah menelan ludahnya. "Emm semalam, saya dan pak Awan melihat nona Bulan berbicara kepada tuan Bintang. Sepertinya tuan Bintang dan nona Bulan dekat. Dan sepertinya tuan Bintang menyukai nona Bulan."

Matahari terdiam. Matanya tak tentu arah. Ada sedikit rasa sayatan dihatinya. Makin dirasakan makin dalam pula sayatan itu menjamah hatinya. Matahari menahan nafasnya sebentar, ampuh untuk menghilangkan pedihnya, tapi saat ia membuang nafasnya rasa pedih itu makin jadi.

"Kalau itu benar ibu Burung, saya tak tahu harus apa. Saya menyayanginya. Tapi jika Bulan harus bersama saya, habislah dia ketika bekerja. Saya tahu, tuan Bintang pasti akan memaksanya terus bahkan mungkin dia akan dimusuhi oleh tuan Bintang. Saya tak sanggup melihat dia bekerja sendirian ketika malam, tanpa teman untuk berbicara."

Pak Awan bergerak ke sisi kanan Matahari, "Tapi Matahari, nona Bulan menyayangimu. Tak maukah kalian berusaha bersama?"

Matahari menyentuh hatinya pelan. "Tentu saja saya mau, tapi itu takkan berhasil. Karena wilayah kerja malam bukan wilayah saya. Saya tak bisa berbuat apa-apa. Dan itu tandanya saya tak bisa menjaga Bulan dari Bintang."

"Tapi tuan--"

"Tidak ada tapi dalam situasi ini nona, lagipula Bulan belum tahu saya menyayanginya. Biarlah saya menjadi pihak yang jahat disini. Ibu dan Pak Awan saya mohon jangan membuat saya berimajinasi untuk melihat kemungkinan baiknya. Karena hal ini memang tak ada kemungkinan baiknya, semuanya buruk. Biar paling buruk sekalian. Karena saya tak tahu bisa bertahan atau tidak jika saya ikut berimajinasi berbagai kemungkinan baik. Saya mencintainya."

Ibu Burung dan pak Awan hanya menatap sedih mata Tuan Matahari yang menangis sekarang.
------
"Matahari, kenapa wajahmu seperti marah begitu?" Bulan berusaha menyentuh wajah matahari.

Matahari langsung saja menepis tangan Bulan. "Bulan apakah kau tak mengerti? Kita tidak akan pernah bisa bersama. Sampai kapanpun. Situasi kita berbeda."

Bulan ingin menangis saat itu juga. "Tapi, Matahari, kenapa? Bukankah kita sama-sama menyayangi satu sama lain? Kita bisa kalau kita berjuang."

Matahari menatap dingin ke arah Bulan. Makin dingin tatapan Matahari, makin tajam pula sayatan dihatinya. "Tidak, tidak. Sampai kapanpun tidak akan bisa. Berjuang sekalipun, tidak akan bisa. Mengertilah."

Bulan menangis. Dalam. Sakit. Perih. "Seharusnya dari dulu. Seharusnya Bulan tak menyimpan rasa ini, jika memang Matahari tak mau. Sekarang semuanya terasa sakit sekali. Sakit, Matahari."

Matahari ikut menangis, tetapi di dalam hatinya. "Maafkan aku Bulan, sekarang pulanglah." Ketika mengucapkan itu, jelas sudah hatinya kini sudah bukan hanya tersayat tapi terbelah hancur berantakan. Bagaimana mungkin ia menyatakan itu tapi sesungguhnya dia tak menginginkannya?

Bulan menangis keras. "Matahari jahat!" Ia berlari menuju rumahnya.
------
Disini ketika pagi mau menjelang, Bulan duduk di bangku rumahnya. Tak berusaha untuk mengikuti hatinya untuk berlari ke tempat kerja Matahari. Hatinya sudah hancur berantakan. Sekian lama ia merasakan cinta kepada Matahari, sekian menit cinta itu dipaksa untuk dihancurkan juga. Matahari tak mau berjuang untuknya, jelas sekali Matahari tak mencintainya. Rasa cintanya kepada Matahari masih saja utuh bersama luka-luka biru yang telah membusuk. Dan bodohnya ia berharap Matahari bisa jatuh cinta padanya. Terlebih ia merasa bodoh mencintai orang yang tak mencintainya
-----
Disini ketika malam telah usai, ingin rasanya Matahari berlari cepat. Ingin rasanya ia menemukan Bulan kembali di tempatnya-tempat mereka. Tapi Bulan tak pernah ada. Hatinya telah hancur berantakan. Ia merasa jahat. Ia menghancurkan hati yang dicintainya. Ia telah sukses membuat Bulan menjadi hancur karenanya. Tetesan mata Bulan yang mengalir karena dirinya, itu hal yang paling membuat hatinya berdarah. Rasa cintanya masih utuh bersama hati yang sudah mengeras kering akan darah. Bodohnya ia masih berharap Bulan tak berhenti mencintainya. Terlebih ia merasa bodoh karena berusaha untuk pura-pura tidak mencintai padahal ia mencintai.

Komentar